Riwayat ritual manten kucing itu mempunyai
sejarah panjang, yang hingga sekarang masih dipercaya oleh masyarakat setempat.
Dahulu, di Desa Pelem hidup seorang Demang yang dikenal dengan sebutan Eyang
Sangkrah. Ia adalah sosok linuwih dalam ilmu kejawen. Eyang Sangkrah memiliki
seekor kucing condromowo (bulunya tiga warna) jantan dengan sepasang mata
istimewa.
Suatu ketika, sekitar tahun 1928, Desa Pelem
dilanda kemarau panjang. Masyarakat desa kesulitan untuk mendapatkan air.
Sebagai seorang pemimpin desa, Eyang Sangkrah merasa bertanggungjawab atas
nasib penduduknya. Berbagai ritual untuk memohon hujan dilakukan, tapi air
tidak kunjung turun.
Eyang Sangkrah merasa kehabisan cara. Dalam
kebingungan itu, Eyang Sangkrah mandi di telaga yang berada di desanya. Secara
tidak sengaja, saat mandi, kucing jantannya yang selalu ikut ke mana-mana itu
bermain air.Begitu kucingnya main air, selang beberapa saat hujan lebat
mengguyur desa ini.
Semenjak peristiwa tersebut, masyarakat di desa
itu meyakini keampuhan ritual manten kucing. Jika Desa Pelem dilanda kemarau
panjang, warga akan menggelar ritual memandikan kucing di telaga tempat Eyang
Sangkrah memandikan kucingnya.
Seiring perkembangan zaman dan bergantinya
generasi, masyarakat setempat menamakan ritual tersebut sebagai manten kucing.
Agar suasana lebih meriah, biasanya, masyarakat menambahkan kesenian lokal,
seperti tiban dan jidor, untuk mengiringi ritual. Pelaksanaannya pun dikemas
dengan nuansa kesenian. Sebelum kucing dimandikan di coban, warga terlebih
dahulu mengarak kucing keliling desa.
No comments:
Post a Comment